Kamis, 08 Juli 2010

POKOK-POKOK PENYIMPANGAN AJARAN SYI'AH

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Pokok-pokok Penyimpangan Ajaran Syi’ah
10/02/2001 – Arsip Aliran Pemikiran

Jika kita mendengar ada seorang pejabat bertugas di luar negeri selama satu bulan misalnya. Kemudian ia mencari wanita untuk dinikahi selama waktu itu, dan diceraikannya ketika kembali, maka kejadian itu tidaklah mengherankan karena sudah menjadi rahasia umum bahwa laki-laki banyak yang suka jajan di luar. Yang mengherankan adalah jika ada seorang ulama yang melakukan demikian. Inilah yang banyak terjadi di kalangan tokoh agama aliran ini. Inilah yang disebut dengan nikah mut’ah, yaitu nikah kontrak. Nikah mut’ah telah diharamkan oelh Rasulullah SAW untuk selamanya. Tetapi aliran yang satu ini berkeyakinan lain.

MUKADIMAH

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada cahaya iman, Dien yang lurus yaitu agama Islam melalui hamba pilihan-Nya Muhammad SAW. Dan yang telah meneguhkan hati para hambanya yang teguh dalam memegang aqidah yang lurus. Shalawat dan salam teriring kepada teladan kita Rasulullah Muhammad SAW, Nabi yang terakhir, juga kepada para keluarga dan para sahabatnya serta kaum Muslimin/muslimat yang teguh mengikuti ajaran dan aqidahnya sampai akhir jaman, amin.

Berkembangnya gerakan (harakah) aliran-aliran sempelan di Indonesia yang telah tersebar luas di penjuru tanah air, sudah sangat meresahkan masyarakat. Pengaruh ajarannya telah dapat mengubah gaya dan cara hidup (way of life) bagi pengikutnya. Gerakan mereka sangat halus dan pintar sehingga tidak semua orang dapat mengetahui, terlebih memahami bahwa pemahamannya bertentangan dengan pemahaman para ulama generasi salaf, yang merupakan generasi sebaik-baik ummat. Hanya dengan petunjuk, taufik dan hidayah Allah SWT, kita dapat menempuh jalan yang lurus.

Isyarat munculnya berbagai penyimpangan dan munculnya aliran-aliran menyesatkan telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Akan keluar suatu kaum akhir jaman, orang-orang muda berfaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil Bariyah”(maksudnya: mengucapkan firman-firman Tuhan yang dibawa oleh Nabi). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau orang-orang ini berjumpa denganmu lawanlah mereka.” (Hadits Sahih riwayat Imam Bukhari).

“Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian aku akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah SAW. bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama, apabila mereka mengerjakan agama dengan pendapat fikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pendapat fikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada kita, bahwa di masa kemudian akan ada peperangan (baik perang mulut, perang pemikiran maupun perang fisik) yang terjadi di kalangan orang-orang yang beriman. Hal ini karena di antara ummat ini sebagiannya ada yang mengadakan dan mengikuti bid’ah yang sebelumnya dalam agama tidak diajarkan. Dari sinilah terjadinya perbedaan-perbedaan dalam satu agama. Akan tetapi tidak semua perbedaan-perbedaan itu dilarang dalam agama. Perbedaan dalam Islam dibolehkan dalam hal yang bersifat cabang atau (furu’), yaitu masalah-masalah fiqiyah yang rumit-rumit, dimana terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para ulama. Adapun perbedaan yang dilarang adalah perbedaan dalam hal pokok (ushul), yaitu perbedaan dalam memahami masalah-masalah aqidah pada umumnya, serta pemahaman masalah hukum-hukum Islam yang telah jelas, dan menjadi kesepakatan para ulama (jumhur ulama).

Perbedaan pendapat di dalam Islam dapat dipahami dengan mudah seperti contoh yang kami berikan berikut ini:
Secara umum perbedaan pendapat di dalam Islam ada dua macam, yaitu:

Perbedaan pendapat yang dapat mengakibatkan perpecahan, yaitu perbedaan dalam hal ushul (masalah pokok, yaitu masalah aqidah).
Perbedaan pendapat yang tidak mengakibatkan perpecahan, yaitu perbedaan dalam hal furu’ (masalah cabang, yaitu masalah fiqiyah).

Contoh dari perbedaan pendapat yang dapat mengakibatkan perpecahan.

Misalnya keyakinan tentang AL-QUR’AN. Bahwa ajaran yang benar seperti yang diberitakan dari Rasulullah SAW, juga yang dipahami oleh para sahabat, ulama salaf dan yang mengikutinya, adalah bahwa Al-Qur’an itu kalamullah, dan bukan makhluk. Jadi jika ada yang berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka itu adalah keyakinan yang menyimpang.

Misalnya lagi, keyakinan tentang SIAPAKAH NABI DAN RASUL TERAKHIR. Bahwa jawaban dan keyakinan yang benar adalah bahwa Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul. Jika ada yang berkeyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad ada nabi lagi seperti misalnya golongan AHMADIYAH mengakui Mirza Ghulam Ahmad dari India adalah sebagai nabinya, maka itu adalah keyakinan yang menyimpang dan jelas golongan yang sesat.

Misalnya lagi, keyakinan tentang MENGHUKUMI KAFIR TERHADAP ORANG LAIN. Bahwa jawaban dan keyakinan yang benar adalah bahwa orang kafir yang akan kekal di dalam neraka adalah orang yang tidak meyakini (dengan hati, lisan, perbuatan) akan LAA ILAAHAILLALOOH dan yang murtad keluar dari Islam. Maka jika ada golongan yang mengatakan orang Islam lain, yang tidak bergabung dalam jama’ahnya adalah kafir, seperti keyakinan jama’ah LDII dan yang sejenisnya, maka itulah keyakinan yang menyimpang dan sesat.

Misalnya lagi, keyakinan tentang SHALAT WAJIB LIMA WAKTU. Keyakinan yang benar adalah bahwa shalat lima waktu hukumnya adalah wajib, setelah syareat ini disampaikan oleh Allah kepada Rasulullah SAW dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Jika ada aliran yang menyatakan bahwa shalat lima waktu untuk saat ini tidak wajib, dengan berbagai alasan, seperti aliran Al-ZAYTUN yang pesantrennya sangat megah di Indramayu itu, maka aliran itu sudah pasti adalah aliran sesat.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.

Contoh perbedaan pendapat yang tidak mengakibatkan perpecahan.

Misalnya tentang masalah ADZAN DALAM KHUTBAH JUM’AT. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam dimana pada saat mendirikan shalat Jum’at ada yang adzannya hanya sekali ada yang dua kali. Ini adalah perbedaan pendapat karena historis dan interpretasi yang berbeda. Maka dalam perbedaan semacam ini , tidak bisa yang satu terhadap yang lainnya menyatakan aliran sesat. Inilah yang dimaksud perbedaan pendapat yang tidak dilarang.
Misalnya lagi tentang masalah JUMLAH REKAAT DALAM SHALAT TARAWIH. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ummat Islam dimana pada saat mendirikan shalat Tarawih ada yang 11 rekaat, ada yang 23 rekaat. Ini juga perbedaan pendapat yang tidak mengakibatkan perpecahan. Jadi kelompok yang satu tidak bisa menyatakan sesat terhadap kelompok yang lainnya.
Dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya.

Inilah, salah satu contoh sederhana yang kami terangkan yang mungkin dapat memudahkan memahami perbedaan pendapat di dalam Islam. Dalam hal perbedaan pendapat yang terakhir kami sebutkan, yaitu perbedaan pendapat dalam hal furu’ (cabang), maka salah satu pihak tidak dibenarkan mengklaim bahwa hanya pendapatnya sendirilah yang benar dan yang lain dianggap salah atau menyatakan sesat kepada pihak lain yang berbeda pemahaman, terlebih lagi menuduh pendapat lain sebagai kafir. Sedangkan pada perbedaan pendapat pada hal yang ushul (pokok), maka dibenarkan untuk menyatakan bahwa pendapat dari firqah yang lain yang bertentangan dengan kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah pendapat yang menyesatkan dan bahkan dapat menjurus kepada kafir.

Ijtihad ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang mencari arah Ka’bah. Bila empat orang shalat dan setiap orang menghadap ke suatu arah yang ia yakini sebagai arah kiblat, maka shalat keempat orang itu sah dan benar. Sedangkan yang shalat menghadap Ka’bah dengan tepat hanya satu dan dialah yang mendapatkan dua pahala. (Demikian, pernah dituturkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Sedangkan perbedaan seseorang di dalam menempuh jalan yang benar, beragama dengan aqidah yang lurus diibaratkan sebagai orang yang mencari Ka’bah di hamparan bumi yang datar. Keempat orang yang shalat dengan menghadap kepada arahnya masing-masing, meyakini arahnya benar menuju Ka’bah, maka yang jalannya menuju kearah yang benar hanya satu, dialah yang akan menemukan Ka’bahnya. Sedangkan yang lainnya masing-masing yang satu berlawanan dan yang dua menyimpang, maka mereka tidak akan menemukannya.

Demikian halnya dengan aliran pemahaman yang telah benar-benar jauh menyimpang dalam hal-hal prinsip; berdasarkan kesepakatan di kalangan Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka ini termasuk kedalam golongan atau firqah sempalan. Aliran sempalan tersebut sekarang telah banyak bermunculan di seluruh penjuru dunia, dari Timur sampai ke Barat, termasuk di Indonesia. Di Indonesia, dapat dilihat dalam banyak kelompok/aliran, seperti: Ahmadiah dari India, Jamus (Jama’ah Muslimin) dari Cilengsi Bogor, LK (Lembaga Karasulan), Isa Bugis, Syi’ah, kemudian LDII (Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia) dan masih banyak lagi aliran-aliran yang menyimpang. Di dalam aliran kelompok sempalan seperti ini banyak dijumpai pemahaman agama yang menyimpang karena mereka memahami agama dengan sekehendak para pimpinan atau para pendiri-pendirinya, dengan cara mengambil dalil-dalil yang sesuai dan diartikan sekehendak mereka. Mereka mempelajari ilmu tidak melalui jalur-jalur ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, bahkan diantara mereka terdapat aliran yang mengharamkan mempelajari ilmu di luar alirannya. Mereka benar-benar memiliki cara atau teknik yang dapat menjaring orang-orang awam dan dengan rapi dapat pula membungkamnya melalui dogma-dogma yang diajarkannya.

Maka telah kita ketahui bersama, datangnya jaman penuh dengan fitnah, yaitu merajalelanya aliran-aliran sempalan yang merupakan firqah baru dalam jama’ah kaum muslimin. Oleh karena itu kami mengajak kepada diri kami dan juga kepada kaum Muslimin sekalian, tetaplah berpegang teguh dengan keimanan dan prinsip aqidah yang lurus dan benar mengikuti jejak ulama yang lurus sesuai pemahaman generasi slafus solih yang mengikuti sunnah Rasul dan menetapi kewajiban bertakwa kepada Allah SWT.

Lantas bagaimanakah seharusnya sikap kita sebagai seorang muslim, yang mengaku mengikuti sunnah Rasulullah SAW?

Firman Allah SWT, “…dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain).” (Q. S. Al-An’aam: 153). Seorang tokoh tabi’in dan ahli tafsir, Abu Al-Hajjaj Mujahid bin Jabar Al-Makki, berkata, “Jalan-jalan yang dimaksud dalam firman Allah tersebut adalah jalan-jalan bid’ah dan syubhat.”

“Dari Al-Irbadh bin Suriyah r.a. berkata: Rasulullah SAW. pernah bersabda, “Saya berpesan kepada kamu sekalian, hendaklah kamu takut kepada Allah dan mendengarkan serta patuh, sekalipun kepada bangsa Habsy, karena sesungguhnya orang yang hidup antara kamu sekalian di kemudian aku, maka akan melihat perselisihan yang banyak; maka dari itu hendaklah kamu sekalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulafah yang menetapi petunjuk yang benar; hendaklah kamu pegang teguh akan dia dan kamu gigitlah dengan geraham-geraham gigi, dan kamu jauhilah akan perkara-perkara yang baru diada-adakan, karena sesungguhnya semua perkara yang baru diadakan itu bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat.”

(Hadits riwayat Ahmad)

Allah SWT berfirman, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (Q. S. An-Nisaa’: 59)

Dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allah kepada suatu ummat sebelumku, melainkan dari umatnya itu terdapat orang-orang yang menjadi pengikut dan sahabatnya, yang mengamalkan Sunnahnya dan menaati perintahnya. (Dalam riwayat lain dikatakan, “Mereka mengikuti petunjuknya dan menjalankan Sunnahnya.”) “Kemudian setelah terjadi kebusukan, dimana mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Maka orang-orang yang memerangi mereka dengan lidahnya, niscaya dia termasuk orang-orang yang beriman. Demikian juga dengan orang yang memerangi mereka dengan hatinya, niscaya dia termasuk orang yang beriman. Selain itu, maka tidak ada keimanan sebesar biji sawi pun.” (HR. Imam Muslim)

Nabi SAW telah bersabda, “Apabila kamu melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bid’ah sesudah aku (Rasulullah SAW) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan kasusnya. Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bid’ah mereka. Dengan demikian Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan derajat kamu di akhirat.” (HR. Ath-Thahawi)

Kita telah diajarkan untuk tidak berlemah lembut kepada kelompok aliran yang menyimpang dan menyesatkan, dan jika ingin mencari keutamaan, maka berdakwahlah dengan menjelaskan penyimpangan ajarnnya agar orang-orang mengetahuinya.

Sesungguhnya setiap muslim memang harus memprioritaskan husnudhan (prasangka baik) kepada sesama muslim, dan juga di dalam mensifati orang lain harus adil. Tetapi tidaklah semua keadaan disikapi demikian, ada keadaan perkecualian, sebagai contohnya adalah seperti kisah sbb:
“Dikatakan kepada Nabi SAW: “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan shalat lail, berpuasa di siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah SAW: “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi): “Sedangkan fulanah (yang lain) melakukan shalat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil (tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah SAW: “Dia termasuk ahli surga.”
(Silsilah Hadits As-Shahihah, no. 190).

Dalam hal ini kata-kata Nabi “Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk ahli neraka”, padahal orang yang dikatakannya adalah orang yang rajin mengerjakan syareat. Kemudian pernyataan Nabi SAW terhadap perbuatan orang yang kedua yang hanya menyebut kebaikannya tanpa menyinggung kejelekannya. Kemudian, Allah SWT juga mengisahkan Abu Lahab dan isterinya dengan lima ayat dalam Al-Qur’an, yang isinya kejelekan semuanya, padahal keduanya (sedikit atau banyak) juga mempunyai kebaikan, bahkan Abu Lahab termasuk tokoh yang dihormati dan disegani di kalangan Quraisy.

Maka dalam membicarakan kebaikan dan keburukan orang atau golongan, ada perkecualiannya. Adapun perkecualian itu secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua keadaan, yaitu:

DALAM RANGKA NASEHAT DAN PERINGATAN UMMAT
Pada keadaan ini, tidak ada keharusan untuk menyebutkan kebaikan, ketika menyebutkan keburukan seseorang/golongan. Bahkan cukup menyebutkan keburukannya saja. Misalnya membicarakan Ahli bid’ah, seperti LDII, yang mengada-adakan syareat dengan mengharuskan setiap orang harus berbai’at kepada imam jama’ah LDII, jika tidak maka kafir. Dan masih banyak penyimpangan syareat lainya.
DALAM RANGKA MENJELASKAN ATAU MENGISAHKAN SESUATU
Dalam keadaan ini, menyebutkan kebaikan dan keburukan orang atau golongan tertentu secara bersamaan diperbolehkan, selama tidak menimbulkan madlarat. Misalnya saja menyebutkan sifat seorang perawi hadits.
Adapun mengenai perincian ghibah (membicarakan kejelekan orang lain) yang diperbolehkan, Imam Nawawi dalam kitab dan juz yang sama hal. 142-143 mengatakan: “Akan tetapi ghibah itu diperbolehkan karena enam sebab.” Diantaranya dua telah disebutkan di atas.

Allah SWT telah berfirman bahwa Dia-lah yang menjaga Al-Qur’an (agama ini) sampai waktu yang dikehendaki-Nya. Allah menjaganya melalui hamba-hamba yang beriman yang teguh di dalam mengikuti jejak dan ajaran Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW telah menjamin akan adanya segolongan umat yang tetap atas kebenaran hingga hari kiyamat. Rasulullah SAW telah bersabda, “Akan ada segolongan dari umatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu.”
(HR. Imam Bukhari)

“Akan tetapi ada dari kalangan umatku sekelompok orang yang terus-menerus menjelaskan dan menyampaikan kebenaran, sehingga orang yang ingin menghinakan tidak akan mendatangkan mudharat bagi mereka sampai datang putusan Allah (hari kiamat).” ((HR. Imam Muslim)
Ummat tersebut adalah ummat yang telah disebut di atas sebagai satu golongan yang masih mengikuti sunah-sunah Rasulullah SAW yang akan selamat yaitu Ahli Sunnah wal Jama’ah.

Kepada Saudara sekalian yang masih merasa bingung dan ragu karena telah mengikuti pengajian suatu aliran, dan kemudian diajak untuk menjadi anggota, hendaknya jangan langsung menerima sebelum meminta pendapat dari orang-orang alim yang lurus atau kepada pihak lain yang dapat dimintai pendapatnya dengan benar dan obyektif.

Lebih utama dari semua itu adalah memohon petunjuk jalan yang lurus kepada Allah SWT Yang Maha Memberi petunjuk. Tiada yang dapat menyesatkan siapa yang Allah tunjuki jalan yang lurus. Dan tiada yang dapat menunjukan jalan yang lurus, siapa yang Allah sesatkan. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan petunjuk dan semoga kita termasuk orang yang ditunjukan dan menempuh jalan yang lurus dengan taufik dan hidayah-Nya, amin.

Berikut ini adalah pengkajian tentang FIRQAH atau ALIRAN SEMPALAN yang pemahaman ilmu agamanya dapat Saudara baca dbawah ini dengan seksama!

Asal-usul Syi’ah

Syi’ah secara etimologi bahasa berarti pengikut, sekte dan golongan. Sedang dalam istilah syara’, Syi’ah adalah suatu aliran yang timbul sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan yang di komandoi oleh Abdullah bin Saba’ mengintrodusir ajarannya dengan terang-terangan dan menggalang masa untuk memproklamirkan bahwa kepemimpinan (baca:Imamah) sesudah Nabi saw. Sebenarnya ke tangan Ali bin Abi Thalib karena suatu nash (teks) Nabi saw. Namun, menurut Abdullah bin Saba’, Khalifah Abu Bakar, Umar dan Utsman telah mengambil alih kedudukan tersebut.

Keyakinan itu berkembang sampai kepada menuhankan Ali bin Abi Thalib. Berhubung hal itu suatu kebohongan, maka diambil suatu tindakan oleh Ali bin Abi Thalib, yaitu mereka dibakar, lalu sebagian dari mereka melarikan diri ke Madain.

Aliran Syi’ah pada abad pertama Hijriah belum merupakan aliran yang solid sebagai trand yang mempunyai berbagai macam keyakinan seperti yang berkembang pada abad ke dua Hijriah dan abad-abad berikutnya.

POKOK-P0KOK PENYIMPANGAN SYI’AH PADA PERIODE PERTAMA sbb:

Keyakinan bahwa Imam sesudah Rasulullah saw. Adalah Ali bin Abi Thalib, sesuai dengan sabda Nabi saw. Karena itu para Khalifah dituduh merampok kepemimpinan dari tangan Ali bin Abi Thalib r.a.
Keyakinan bahwa Imam mereka maksum (terjaga dari salah dan dosa).
Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum hari kiamat untuk membalas dendam kepada lawan-lawannya, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dll.
Keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib dan para Imam mengetahui rahasia ghoib, baik yang lalu maupun yang akan datang. Ini berarti sama dengan menuhankan Ali dan Imam.
Keyakinan tentang ketuhanan Ali bin Abi Thalib yang dideklarasikan oleh para pengikut Abdullah bin Saba’ dan akhirnya mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib karena keyakinan tersebut.
Keyakinan mengutamakan Ali bin Abi Thalib atas Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Padahal Ali sendiri mengambil tindakan hukum cambuk 80 kali terhadap orang yang meyakini kebohongan tersebut.
Keyakinan mencaci maki ara sahabat atau sebagian sahabat seperti Utsman bin Affan (lihat Dirasat fil Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minhaa, Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, hal.237).
Pada abad kedua Hijriah perkembangan keyakinan Syi’ah semakin menjadi-jadi sebagai aliran yang mempunyai berbagai perangkat keyakinan baku dan terus berkembang sampai berdirinya dinasti Fathimiyyah di Mesir dan dinasti Sofawiyyah di Iran. Terakhir aliran tersebut terangkat kembali dengan revolusi Khomaeni dan dijadikan sebagai aliran resmi negara Iran sejak 1979.

POKOK-POKOK PENYIMPANGAN SYI’AH SECARA UMUM :

Pada Rukun Iman :
Syi’ah hanya memiliki 5 rukun Iman tanpa menyebut keimanan kepada para Malaikat, Rasul dan Qodho dan Qodar, yaitu : 1. Tauhid (Keesaan Allah), 2. Al ‘Adl (Keadilan Allah), 3. Nubuwwah (Kenabian), 4. Imamah (Kepemimpinan Imam), 5. Ma’ad (Hari kebangkitan dan pembalasan). (lihat ‘Aqa’idul Imamiyyah oleh Muhammad Ridho Mudhoffar dll.)
Pada Rukun Islam :

Syi’ah tidak mencantumkan Syahadatain dlm rukun Islam, yaitu : 1. Sholat, 2. Zakat, 3. Puasa, 4. Haji, 5. Wilayah (Perwalian) (lihat Al Kafie juz II hal. 18).
Syi’ah meyakini bahwa Al-Qur’an sekarang ini telah dirubah, ditambah atau dikurangi dari yg seharusnya. (lihat Al-Qur’an Surat Al _Baqarah/ 2:23). Karena itu mereka meyakini : Abu Abdillah (Imam Syi’ah) berkata : “Al-Qur’an yang dibawa oleh Jibril a.s. kepada Nabi Muhammad saw. Adalah tujuh belas ribu ayat (Al Kafi fil Ushul juz II hal 634). Al-Qur’an mereka yang berjumlah 17.000 ayat itu disebut Mushaf Fatimah (lihat kitab Syi’ah Al Kafi fil Ushul juz I hal 240-241 dan Fathul Khithob karangan Annuri Ath Thibrisy).
Syi’ah meyakini bahwa para sahabat sepeninggal Nabi saw. Mereka murtad, kecuali beberapa orang saja seperti : Al-Miqdad bin al_Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisy (Ar Raudhah minal Kafi juz VIII hal. 245, Al-Ushul minal Kafi juz hal. 244)
Syi’ah menggunakan senjata taqiyyah yaitu berbohong, dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya, untuk mengelabuhi (Al Kafi fil Ushul juz II hal. 217)
Syi’ah percaya kepada Ar-Raj’ah yaitu kembalinya roh-roh ke jasad nya masing-masing di dunia ini sebelum Qiamat di kala Imam Ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali dan anak-anaknya untuk balas dendam kepada lawan-lawannya.
Syiah percaya kepada Al Bada’ yakni tampak bagi Allah dalam hal keimanan Ismail (yang telah dinobatkan keimanannya oleh ayahnya, Ja’far As-Shidiq, tetapi kemudian meninggal di saat ayahnya masih hidup) yang tadinya tidak tampak. Jadi bagi mereka , Allah boleh khilaf, tetapi Imam mereka tetap maksum (terjaga).
Syi’ah membolehkan nikah mut’ah yaitu nikah kontrak dengan jangka weaktu tertentu (lihat Tafsir Minhajus Shodiqin juz II hal. 493). Padahal hal itu telah diharamkan oleh Rasulukllah SAW Yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib sendiri.

Nikah Mut’ah

Nikah Mut’ah adalah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbata yang berakhir dengan habisnya masa tersebut, di mana suami tidakberkewajiban memberikan nafkah, dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya.

Ada enam perbedaan prinsip antara nikah mut’ah dan nikah sunnim (syar’I) :

Nikah mut’ah dibatasi oleh waktu, nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
Nikah mut’ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
Nikah mut’ah tidak berakibat saling mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
Nikah mut’ah tidak membatasi jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal empat orang.
Nikah mut’ah dapat dilaksanakan tanpa wali dan saksi,nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
Nikah mut’ah tidak mewajibkan suami memberikan nafkah kepada istri.

Dalil-dalil haramnya nikah mut’ah :

Haramnya nikah mut’ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi SAW Juga pendapat para ulama dari empat madzab.

Dalil dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani, ia berkata, “Kami bersama Rasulullah saw. Dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudazraku itu. Kemudian wanita tadi berkata, “Ada selimut seperti selimut.’ Akhirnuya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi saw. sedang berpidato diantara pintu Ka’bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, ‘Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang yang memiliki istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari Qiamat. (Shahih Muslim II/1024).

Dalil hadits lainnya : Dari Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi saw. Melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khgaibar. (Fath Al-Bari IX/71)

Pendapat para ulama

Berdasarkan hadits-hadits tersebut diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut :

Dari madzab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan, “Nikah mut’ah ini batil menurut madzab kami.” Demikian pula Imam Ala al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada’I Al-Sana’I fi Tartib Al Syara’I (II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, ‘yaitu nikah mut’ah”.
Dari Madzab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s/d 334 mengatakan, “Hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir.” Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) mengatakan, “apabila seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”
Dari Madzab Syafi’I, Imam Al-Syafi’I (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang laki-laki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan”. Sementara itu Imam Nawawi (wafat676 H) dalam kitabnya Al-Majmu’ (XVII/356) mengatakan, “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
Dari Madzab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, “Nikah mut’ah ini adalah nikah yang batil.” Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah haram.

Dan masih banyak lagi kesesatan dan penyimpangan Syi’ah. Kami ingatkan kepada kaum muslimin agar waspada terhadap ajakan para propagandis Syi’ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama “wajib mengikuti madzab Ahlul Bait”.

Sementara pada hakekatnya Ahlul Bait berlepas diri dari mereka, itulkah manipulasi mereka. Semoga AllahSWT selalu membimbing kita ke jalan yang lurus berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih.

Rujukan :

Dr. Nashir bin Abd. Karim Al Aql, Dirasat fil Ahwaa’ wal firaq wal Bida’ wa Mauqifus Salaf minha.
Drs. KH. Dawam Anwar dkk. Mengapa kita menolak Syi’ah.
H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah bayang-bayang Soekarno-Soeharto.
Abdullah bin Said Al Junaid, Perbandingan antara Sunnah dan Syi’ah.
Dan lain-lain, kitab-kitab karangan orang Syi’ah.

1 komentar:

  1. Simak dan saksikan ... live 24 jam ... proses penyadaran korban2 ajaran nii zaytun milah ibrahim komar milata abraham al qiyadah al islamiyah di http://sempalan.wordpress.com/2011/03/14/live-24-jam-menyadarkan/

    BalasHapus